Powered by Blogger.

Antara Punk, Aceh dan Syariat Islam



oleh Khairil Miswar


PRO dan kontra penangkapan anak punk di Aceh harus disikapi secara sehat dan bijak tanpa mengedepankan emosi. Seperti diberitakan di beberapa media baik lokal dan juga beberapa media asing terjadi kontroversi terhadap penangkapan anak punk. Mayoritas masyarakat Aceh dan beberapa organisasi di Aceh  mendukung aksi penangkapan dan pembinaan terhadap anak punk. Di sisi lain ada juga beberapa pihak yang malah menuding penangkapan anak punk melanggar HAM seperti yang diutarakan oleh Komnas HAM. 


Di beberapa media juga diberitakan terjadi aksi protes yang dilakukan oleh para punker (anak-anak punk) seperti yang terjadi di Makasar dan juga dibeberapa tempat lain di Indonesia.  Aksi yang dilakukan oleh punker tersebut adalah sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap saudara mereka yang ditangkap di Aceh.

Punk Masuk Aceh

Dari berbagai sumber yang penulis telusuri bahwa komunitas punk lahir di London, Inggris. Kelahiran komunitas ini muncul akibat kekecewaan mereka kepada kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. 

Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar. 

Anak punk terkadang juga sering dikaitkan dengan kejahatan dan aksi kriminal, meskipun para punker yang ada di Aceh membantah tuduhan tersebut. 

Seingat penulis, sebelum terjadinya tsunami di Aceh penulis tidak pernah mendengar ada komunitas punk di Aceh. Entah kapan komunitas ini lahir dan berkembang di Aceh mungkin belum ada orang yang mengetahuinya secara pasti dan menurut penulis “sangat tidak penting” untuk diketahui.
Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh terhadap punk merupakan hal yang wajar disebabkan Aceh merupakan satu – satunya provinsi di Indonesia yang menjaga wilayahnya dengan syariat Islam. 

Konon lagi dari dulu Aceh juga dikenal sebagai “serambi Makkah” dan merupakan pusat Islam pertama di Nusantara. Maka jangan heran, jika sesekali kita melihat ibadah yang dilakukan oleh orang Aceh terkadang bertentangan dan berbeda dengan pemahaman masyarakat Makkah. Bisa saja hal ini dipicu oleh sikap sebagian orang Aceh yang menganggap dirinya lebih `alim dari orang Makkah dikarenakan Aceh adalah “serambinya” Makkah. 

Mungkin, penjelasan penulis tentang masalah ini terlalu berlebihan  sehingga tidak lagi relevan dengan maksud penulisan artikel ini. Namun demikian hal ini penting untuk kita ketahui bersama, setidaknya untuk memperkaya pengetahuan kita tentang syariat Islam yang sedang berjalan di Aceh.

Punk, Aceh dan Islam

Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wataa’la kepada kepada hamba terpilih Muhammad Shallallahu ‘Alai Wassallam melalui perantaraan Jibril as untuk kemudian disampaikan kepada seluruh umat manusia. 

Islam merupakan satu - satunya agama yang paling lengkap diantara agama – agama yang pernah ada dibumi sehingga tidak dibutuhkan penambahan apalagi pengurangan dalam setiap ajarannya. 

Tentang beberapa tudingan yang diserukan oleh para pegiat HAM tentang penangkapan anak punk di Aceh menurut penulis masih diperlukan kajian tentang konsep HAM yang mereka pahami. 

Sejarah telah mencatat bahwa Islam adalah agama yang pertama sekali meletakkan dasar–dasar Hak Asasi Manusia di muka bumi, yang lantas  diadopsi oleh dunia Barat dan disesuaikan dengan HAM (lebih tepat disebut  hawa nafsu/HAW).

Pemahaman mereka terhadap HAM terlalu liar dan nyaris tidak terkontrol sehingga hak – hak Allah seringkali diabaikan dalam rangka memenuhi hajat dan keinginan nafsu mereka. Orang yang meninggalkan shalat jika ditinjau dari konsep HAM Barat mungkin sah–sah saja mengingat dalam pemahan kafir/atheis itu adalah hak manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk oleh Allah sebagai pembuat syariat. 

Jika ditinjau dari berbagai aspek khususnya aspek adat istiadat dan agama memang anak punk bisa dianggap tidak pantas berada di Aceh. Semua mata kita pasti bisa melihat gaya dan kelakukan anak punk yang sangat bertentangan dengan adat dan budaya ketimuran, khususnya Aceh. 

Cara berpakaian dan gaya mereka merupakan cermin dari budaya Barat yang jelas–jelas bertentangan dengan syariat Islam. Aceh merupakan pusat Islam pertama di nusantara sehingga keberadaan anak punk di Aceh dapat merusak citra Aceh dimata daerah lain. 

Dalam banyak hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alai Wassallam melarang kita untuk menyerupai orang – orang kafir dalam segala hal termasuk cara berpakain. Memang jika ditinjau dari konsep HAM Barat setiap manusia bebas berpakaian dan bergaya menurut selera mereka. HAM Barat (mungkin) juga membolehkan setiap manusia melakukan apa saja yang dikehendakinya mengingat itu adalah hak mereka.

Namun bagi kita yang beragama Islam atau minimal ber-KTP Islam tidak boleh mengadopsi dan menelan mentah – mentah teori HAM Barat, yang mengajarkan kebebasan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Amerika sebagai panglimanya dunia Barat setiap saat berkoar – koar dan mengaku sebagai pembela HAM meskipun setiap saat mereka melakukan pelanggaran HAM.
Konsep Islam melebihi HAM yang diajarkan Barat. Karena Islam dangat menjunjung tinggi martabat manusia. Hal ini berbeda dengan HAM Barat yang justru merendahkan martabat manusia. Kita semua melihat bagaimana penyiksaan yang dilakukan oleh Amerika terhadap para tawanan baik di Iraq, Afganistan maupun di negara – negara Islam lainnya. 

Satu bukti Barat yang ambigu. Mereka ingin mengajarkan kita teori – teori HAM namun di saat yang sama, mereka sendiri yang melakukan pelanggaran HAM berat, khususnya di negara – negara Islam.

Aksi penangkapan dan pembinaan terhadap anak punk di Aceh menurut penulis sudah tepat dan patut didukung oleh semua pihak.

Karena itu, tidak ada pelanggaran HAM seperti tudingan para pegiat HAM Barat. 

Khususnya bagi anak punk Aceh yang mungkin beragama Islam sudah sepatutnya mereka dibina agar menjadi manusia yang lebih baik. Selain itu, seharunya banyak pihak mendukung upaya ini dan tidak menjadi apriori. 

Dalam beberapa kasus pembinaan anak-anak punk ini. Nampaknya justru berdampak postif. 

Sebanyak 65 punkers yang sedang dibina di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar, bahkan tak mampu menyembunyikan keceriaan saat kehadiran Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan yang mengunjungi mereka sehabis mendapat pembinaan.

65 anak yang ditertibkan Pemko Banda Aceh dan dibina pihak kepolisian ini justru merasa senang. 

“Banyak hal yang selama ini kami tinggalkan, seperti shalat lima waktu, makan teratur, dan kebersihan diri. Semua itu kami dapatkan kembali di sini,” kata Andri, seorang anak punk dari Lhong Raya, Kota Banda Aceh, kepada Serambi.  (aceh.tribunnews.com, 21/12/2011).

Adalah naif, jika anak-anak itu dibiarkan berada di jalanan secara liar yang bisa jadi akan melahirkan tindak pidana. Namun ketika mereka dibina secara baik, agar bisa diharapkan menjadi orang-orang baik dan berkualitas dari sebelumnya, lantas banyak LSM meneriakkan kata-kata kecaman dengan slogan HAM-nya.

Jika demikian, maaf, jangan-jangan mereka inilah yang menginginkan Aceh menjadi tidak baik dan rusak.  Bisa juga mereka sengaja menciptakan situasi agar Aceh tidak lagi mendapat julukan “Serambi Makkah”.Wallahul Musta`an.



hidayatullah.com

Tag : Opini
0 Komentar untuk "Antara Punk, Aceh dan Syariat Islam"

\bisnis paling gratis

Iklan

Back To Top